Aksi Kamisan: Menolak Lupa

By Laili Muttamimah - May 25, 2015

Banyak orang berkata bahwa pengalaman adalah guru terbaik di dalam hidup. 

Kamis, 21 Mei 2015, saya menempuh suatu pengalaman baru. Hampir 7 bulan saya bergabung dalam Pers Mahasiswa Universitas Paramadina atau biasa disebut Parmagz. Menjadi seorang jurnalis memang bukan salah satu cita-cita saya, namun lewat organisasi ini, saya belajar tentang cara menulis, teknik wawancara, fotografi, dan banyak hal yang belum saya ketahui. Pada awalnya, saya memutuskan untuk bergabung dengan Parmagz karena hobi saya yaitu menulis dan fotografi. Akan tetapi, kini saya mendapat tantangan baru, yang tak hanya menulis, namun juga meliput. Semua orang bisa menulis, tetapi meliput tidak semudah yang dibayangkan. Bagaimana seorang jurnalis membuat suatu 'berita' tanpa rekayasa, bukan suatu 'cerita'. Di sinilah saya mempelajari itu semua. Selama beberapa bulan ini, saya hanya melakukan liputan di dalam kampus. Saya meliput event, kabar terbaru, sampai menulis opini tentang isu kampus. Bisa dibilang, selama ini saya hanya meliput sesuatu yang 'menyenangkan' saja. Saya belum pernah benar-benar terjun langsung untuk meliput apa yang terjadi di lapangan.

Akan tetapi, hari itu, setelah kami melewati tahap Journalist Camp, kami mendapat tantangan untuk terjun langsung ke lapangan. Kami diminta meliput salah satu aksi yang dilakukan setiap hari Kamis di depan Istana Negara. Aksi itu disebut dengan Aksi Kamisan. Aksi Kamisan adalah aksi yang dilakukan untuk menuntut keadilan pemerintah terhadap pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu, yang kini mulai diabaikan. Saya sempat mencari info tentang Aksi Kamisan di internet dan terpengarah begitu tahu ternyata aksi itu sudah berjalan selama 396 kali. Rasa penasaran saya tumbuh, saya semakin tidak sabar untuk liputan itu. Saya dan tim begitu antusias, membayangkan liputan itu akan berjalan dengan seru dan mengasyikkan. Dengan bekal teknik menulis, wawancara, fotografi yang kami pelajari, kami menyetujui permintaan itu dan mempersiapkan diri untuk melakukan liputan sepulang kuliah. Dan... dengan seragam pers baru, kami merasa lebih percaya diri untuk melakukan liputan tersebut.

Kami berangkat terlambat setengah jam dari jadwal karena kuliah yang selesai lebih lama dan transportasi yang susah didapat. Salah seorang senior, Kak Syahar Banu, membimbing kami dalam peliputan kali ini. Sejujurnya, saya pun baru mengetahui tentang Aksi Kamisan lewat beliau. Beliau adalah salah satu pelaku aksi yang tak pernah absen untuk memperjuangkan hak-hak rakyat yang tertindas karena pelanggaran HAM. Maka, lewat tugas kali ini, beliau 'menantang' kami untuk ikut menjadi bagian dari Aksi Kamisan tersebut.


Sayangnya, tidak semua hal akan selalu berjalan sesuai dengan ekspetasi manusia. Begitu tiba di area Istana Negara, saya terkejut melihat ratusan mahasiswa berkumpul di sana sambil berteriak. Mereka membawa bendera dengan berbagai warna dan lambang, juga mengenakan almamater yang menjadi kebanggaan mereka. Tak hanya laki-laki, perempuan pun ikut serta dalam kerumunan itu. Parahnya, kerumunan itu terbagi menjadi dua dengan pengajuan protes yang berbeda. Saya tercengang melihat situasi yang ada, begitu pun teman-teman yang lain. Apa-apaan ini? Yang saya tahu, Aksi Kamisan tidak segarang ini. Aksi Kamisan hanya dilakukan tepat di depan Istana Negara dengan lebih disiplin dan teratur. Akan tetapi, pemandangan yang saat itu tergambar dalam visual saya adalah 'beringasnya' para mahasiswa yang berdemo seolah tak mengerti aturan.

"Wah, ternyata masih ada demo mahasiswa. Padahal, hari Kebangkitan Nasional, kan, kemarin," kata salah seorang senior. 

Akan tetapi, hal itu tidak membuat semangat saya dan teman-teman ciut. Kami pun masuk ke dalam lautan orang itu dan berdesak-desakan untuk sampai di area Aksi Kamisan. Sambil berjalan, saya melihat mahasiswa itu membentuk pagar pertahanan sambil memegang spanduk yang bertuliskan"Turunkah Presiden!". Bukannya tidak peduli, tapi di sana saya tidak mengacuhkan mahasiswa-mahasiswa itu karena niat saya pergi adalah untuk meliput Aksi Kamisan.




Setelah saya berhasil keluar dari kerumunan pertama, di sanalah saya melihat para pelaku Aksi Kamisan. Mereka berkumpul tepat di tengah-tengah, di antara dua kubu mahasiswa, terlihat begitu kontras di depan mata. Mereka tidak berteriak garang seperti demonstran yang lain. Mereka hanya diam, mendengarkan seruan pemimpin aksi, memegang payung hitam, dan spanduk bertuliskan "Mei Menggugat". Sebagian besar dari mereka adalah orang dewasa dan lansia. Mereka adalah korban-korban dari tragedi 1965, 1998, peristiwa Semanggi, dan masih banyak lagi. Mereka memegang setangkai mawar putih yang dilambangkan dengan kematian dan keikhlasan. Lalu, saya dan teman-teman mulai meliput. Para pelaku Aksi Kamisan itu menyanyikan lagu Indonesia Raya dan berdoa. Setelah itu, mereka meletakkan tangkai-tangkai mawar itu di pagar pembatas berjeruji, di hadapan para polisi yang berdiri di muka Istana Negara. Setelah itu, mereka pun berbalik dan pergi dari area aksi. Mungkin ada lebih banyak hal yang terjadi di Aksi Kamisan ke-397 itu. Akan tetapi, karena terlambat, saya melewatkan semuanya. Dan saya sadar bahwa seorang jurnalis tidak bisa semena-mena terhadap waktu, karena dalam satu detik dapat terjadi satu kejadian penting.





Liputan kami belum selesai sampai di situ. Kami diberi tugas untuk meliput salah satu pelaku Aksi Kamisan. Saya memilih Pak Kusnendar. Usianya sudah dapat dibilang lanjut, namun beliau tetap semangat melakukan aksi demi memperjuangkan haknya. Beliau adalah salah satu korban dari tragedi 1965. Beliau menceritakan kepada saya tentang kronologi yang terjadi pada tahun 1965. Cerita beliau membuka pandangan saya bahwa ternyata apa yang saya pikirkan tentang tragedi 1965 ini tidak sepenuhnya benar. Beliau menceritakan yang sesungguhnya dan menegaskan memang banyak manipulasi yang terjadi tentang tragedi itu. Sampai hari ini, tragedi 1965 seolah tabu untuk diperbincangkan dan banyak orang tidak tahu siapa 'dalang' tragedi itu sebenarnya.

Satu jam berlalu, liputan kami selesai. Kami pun menjauh dari ratusan mahasiswa yang belum lelah berdemo. Di sana, saya dan teman-teman saling bertukar cerita tentang hasil liputan. Malah, kami sempat narsis berfoto dengan background para demonstran itu. Saya merasa lega liputan kali ini berjalan dengan lancar.

Akan tetapi, kelegaan itu hanya berjalan sebentar. Selang beberapa menit setelah kami berfoto ria, terlihat kepulan asap dari para demonstran. Bisa dipastikan, mereka mulai ricuh dan membakar ban di depan Istana Negara. Tak lama setelah itu, ratusan mahasiswa itu mendadak berlarian. Mereka panik dan kalang kabut sambil menyerukan bahwa polisi mulai bertindak. Seluruh mahasiswa itu seolah berlari ke arah kami, mencari aman, dan menyusup ke celah-celah. Sontak, bulu kuduk saya meremang. Saya pun ikut berteriak dan berlari menjauhi mereka. Kami semua berlari, pun para pelaku Aksi Kamisan yang sudah lansia. Mereka ketakutan dan berlari dengan susah payah. Saya belum pernah ikut demo dan turun ke jalan, jadi saya merasa ketakutan. Di pikiran saya, terlintas bayangan penembak-penembak misterius atau ribuan mahasiswa yang saling melempar batu dan benda keras lainnya. Saya terus merapal doa dan berlari sekencang mungkin.

Syukurlah, keadaan kembali normal sekitar 15 menit kemudian. Saya, tim Parmagz, dan para pelaku Aksi Kamisan sudah minggir dan berdiri di depan gedung RRI. Kami saling menghela napas dan mengeluarkan pendapat tentang apa yang kami rasakan. Mungkin kericuhan tadi adalah hal yang biasa bagi beberapa orang, namun menjadi pengalaman yang mendebarkan bagi kami. Entah saya harus merasa kapok atau terpacu untuk kembali merasakan hal yang sama.


Setelah kami memastikan para pelaku Aksi Kamisan mendapat taksi untuk pulang, kami pun melakukan briefing. Banyak sekali pelajaran yang kami dapat dari liputan hari itu. Terutama tentang demo mahasiswa yang terjadi. Mereka berkumpul dan meneriaki protes penurunan Presiden, namun mereka tidak mengacuhkan para pelaku Aksi Kamisan yang berada di tengah mereka, yang juga menuntut keadilan pemerintah. Itu terbukti bahwa banyak orang lebih mengutamakan kepentingan pribadi dibanding kepentingan masyarakat yang tidak ada sangkut pautnya dengan mereka.

Saya hanya bisa bergeming melihat fenomena tersebut. Apakah ini yang disebut sebagai 'Persatuan Indonesia'? Di manakah Pancasila sekarang? Hanya ideologi kah? Atau lambang semata? Rasanya tak semua orang memiliki Pancasila di dalam hatinya kini, karena begitu banyak konflik yang terjadi di negeri ini. Apakah ini kekuatan dari demokrasi? Entahlah.

Saya hanya ingin tanah air ini bersatu dan damai kembali. Pengalaman liputan hari itu membuat saya merenungkan banyak hal, termasuk nasib bangsa kita di masa depan.


Bagaimana? Pada akhirnya saya hanya bisa pasrah tanpa mendapatkan jawaban.


Hanya Tuhan yang tahu, bukan?

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar